BUKITTINGGI - Forum Dekan Fakultas Hukum dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) menolak gagasan menghidupkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)atau dengan istilah baru Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dalam UUD 1945 dan amandemen terbatas ke-5.
Dalam acara Seminar dan Call Paper dengan tema" Perlukah PPHN dan Amandemen UUD 1945?, yang digelar di Universitas Muhammadiyah Sumatra Barat (UMSB) Cabang Bukittinggi, Kamis (20/01).
Dalam Seminar tersebut, Sekretaris Forum Dekan FH, Rahmat Muhajir Nugroho, SH, M.H., menyampaikan, bahwa saat ini terus bergulir pembahasan amandemen UUD 1945 yang dilakukan diberbagai tempat.
"Ini penting kita buka, untuk menjadi wacana publik, sehingga masyarakat bisa mengetahui ada sesuatu hal yang penting sedang terjadi, " ujar Muhajir.
Terkait ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold, meskipun tidak secara langsung kami nyatakan dalam pernyataan sikap namun itu menjadi bagian penting yang perlu diperhatikan karena didalam konstitusi kita didalam pasal 6 Ayat 2 UUD1945, tidak mengenal istilah Presidential Threshold..Muhajir lebih lanjut menjelaskan, seharusnya UUD Pemilu tidak membatasi semua paket politik, dan diberikan kesempatan yang sama untuk bisa mencalonkan Presiden dan Wapres, sehingga semua memiliki hak yang sama, termasuk rakyat untuk mendapatkan alternatif calon Presiden yang lebih banyak sehingga mereka bisa menentukan pilihan yang lebih baik.
"Sampai hari ini kita belum tahu konsep dari GBHN/PPHN ini, seperti apa yang ingin digulirkan, apa yang dicantumkan didalam GBHN/PPHN itu, " jelas Muhajir.
Baca juga:
Ilham Bintang: Ya Ampun, Presiden
|
Ia menambahkan, yang dikhawatirkan yaitu GBHN/PPHN ini hanya menjadi pintu masuk untuk kepentingan yang lain, jadi isu GBHN/PPHN itu tidak berdiri sendiri, tetapi juga ketika GBHN/PPHN Amandemen dengan maksud untuk memojokkan GBHN/PPHN dalam UUD itu membuka peluang terjadinya kesempatan untuk merubah berbagai pasal yang ada dalam konstitusi.
"Kami khawatir, bahwa ini hanya sekedar pintu masuk atau entry point saja untuk kemudian merubah beberapa pasal krusial misalnya terkait dengan masa jabatan Presiden, kemudian juga terkait dengan kewenangan MPR dalam memilih Presiden dan Wapres yang mungkin akan dihidupkan lagi, sehingga Presiden tidak dipilih secara langsung oleh rakyat, " imbuh Sekretaris forum Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah itu.
Ia menegaskan bahwa kita tidak tinggal diam, kita terus akan melakukan kajian, melakukan masukan-masukan, dan mengkritisi yang akan dilakukan MPR dalam melakukan perubahan UUD.
"Memang untuk Amandemen UUD itu, harus dilakukan melalui partisipasi publik, ini yang terpenting, " tukasnya.
Saat ini partisipasi publik masih sangat kurang, banyak orang tidak tahu akan adanya perubahan UU, hanya sekitar 10% yang mengetahui adanya perubahan UU.(Linda Sari).